You are currently viewing Nyeleneh nan Ilmiah

Nyeleneh nan Ilmiah

  • Post author:
  • Post category:Uncategorized
  • Post comments:0 Comments

PERNAH enggak sih terlintas pertanyaan di pikiran Muda kalau video di TikTok itu bisa memengaruhi mood kita?

Vicky Rian Saputra dan Chantiq Hast Dhuatu mungkin boleh dibilang ‘kurang kerjaan.’ Bisa-bisanya dua siswa SMA 1 Karanganyar, Jawa Tengah, ini sibuk meneliti TikTok. Ide mereka muncul dari viralnya Bowo Alpenliebe. Bowo ialah salah satu pionir pengguna TikTok di Indonesia.

Keduanya pun tertarik meneliti lebih lanjut terkait aplikasi ini. Namun, kabar simpang siur berdatang­an. Termasuk kabar pemblokiran aplikasi ini oleh Kemenkominfo. Walakin, aplikasi ini justru mendapat banyak atensi dan menemukan popularitasnya.

 “Pada awal Desember 2019 kami mulai tertarik lagi untuk lanjut meneliti melihat ramainya TikTok di berbagai kalangan. Enggak cuma masyarakat umum, bahkan public figure dan tokoh politik banyak mengunggah video TikTok mereka ke Instagram. Dari situ kami mendapat ide untuk mengkaji lebih jauh aplikasi hiburan yang satu ini,” ungkap Chantiq Hast Dhuatu pada Rabu (15/4).

Niatan mereka lalu membuahkan paper berjudul Pemanfaatan Aplikasi TikTok sebagai Mood Booster. Meski terdengar nyeleneh, ini merupakan hasil penelitian ilmiah lo! Bahkan, paper itu mereka ikutkan dalam kompetisi Indonesia Fun Science Award (IFSA), kompetisi ilmiah yang diinisiasi Swiss German University (SGU) di Indonesia. Lalu, apa yang dicari kedua siswa ini?

“Kami ingin mengetahui dampak penggunaan aplikasi TikTok, apakah memengaruhi mood penggunanya. Kami mengkaji apakah responden mengalami kenaikan mood, biasa saja, atau justru mengalami penurunan mood, serta faktor-faktor lain yang memengaruhi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apliaksi TikTok dapat dijadikan mood booster apabila digunakan secara bijak dan tepat guna,” jelas Chantiq.

Dalam penelitian ini keduanya menggunakan metode kualitatif deskriptif. Selama kurang lebih satu bulan keduanya mengumpulkan res­ponden, sebanyak 149 sampel. Dari 149, ada 146 sampel yang didapat melalui metode kuesioner daring (online) dan luring (offline). Tiga res­ponden lain diwawancarai. Sampel penelitian berasal dari kalangan pelajar di wilayah eks Karesidenan Surakarta.

Menurut Rian, rekan penelitian Chantiq, salah satu kendala mereka ialah kurangnya jurnal ilmiah berbahasa Indonesia yang mendukung penelitian keduanya itu.

“Kami kesulitan menemukan jurnal pendukung berbahasa Indonesia, jadi harus translate beberapa jurnal dari luar untuk mendukung hasil penelitian kami,” ung­kapnya.

Penelitian nyeleneh lain dilakukan Nadya Khairussyifa dan Sarah Allycia Vernanda Siregar. Dua siswi asal SMAN 1 Medan itu berkutat pada problematika semut. Nadya dan Sarah mengajukan pertanyaan ‘apakah semut hewan yang diskriminatif?’.

 Inspirasi untuk meneliti tingkah dan sifat semut terpantik ketika situasi di sekolah mereka banyak ditemukan gerombolan semut. Lalu, mereka menghubungkan pada persepsi umum yang menganggap semut merupakan hewan yang setia pada kawanannya.

Semut sebenarnya bukan hal asing bagi Nadya. Pada IFSA perdana, periode 2018-2019, ia menyertakan karya ilmiah berjudul Pengujian Kesetiaan Semut: Antara Teman dan Makanan.

Tim Nadya saat itu menggondol juara pertama dan berhak mendapat hadiah edutrip ke Jerman dari SGU. Kini, Nadya kembali dengan subjek serupa, tetapi berbeda tujuan penelitian dan sudah berganti mitra penelitian. Penelitian lanjutannya ini pun berhasil masuk final lima besar pada IFSA kali kedua ini.

“Ide untuk meneliti tingkat diskriminatif semut muncul akibat rasa penasaran sebab kesimpulan dari penelitian tahun lalu menyatakan bahwa semut itu hewan yang setia kawan. Lantas muncul pula di pemikiran kami, ‘Andai dihadapkan pada semut yang tidak sejenis, apakah akan tetap setia kawan atau justru malah tidak?’. Dengan kata lain, apakah semut itu membeda-bedakan teman?” ungkap Nadya melalui surat elektronik, Rabu (15/4).

Dari penelitian yang dilakukan, Nadya menuturkan mereka ingin melihat korelasi antara zat feromon dari semut yang berbeda jenis dan tingkah lakunya. Bila pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan sampel dari satu jenis semut, untuk mengetahui sikap diskriminatif semut dibutuhkan dua jenis.

“Tahun lalu menggunakan semut terperangkap dan makanan, sedangkan tahun ini menggunakan semut terperangkap dan semut mati. Tahun ini menggunakan dua jenis. Juga dari segi perancangan arena penelitian yang didesain lebih baik agar tidak ada semut yang keluar selama proses penelitian, serta jumlah semut responden yang digunakan lebih banyak agar hasilnya valid,” terang Nadya.

Penelitian Nadya dan Sarah menggunakan metode observasi langsung terhadap pola tingkah laku dua jenis semut yang berbeda, apabila dihadapkan pada situasi terdapat sejumlah semut dari salah satu jenis yang mati dan terperangkap pada suatu area yang sama. Seratus semut yang dijadikan subjek penelitian terdiri atas jenis semut tukang kayu (Camponotus pennsylvanicus) dan semut kroto (Oecophylla smaragdina) dengan masing-masing jenis berjumlah 50 ekor.

Liur dan cerewet

Apakah Muda pernah berpikir, ‘mengapa seseorang bisa cerewet?’ atau, ‘apa yang menyebabkan sese­orang jadi cerewet’. Pertanyaan itu yang coba dicari jawabannya oleh siswa SMA Unggulan CT Arsa Foundation, Sukoharjo, Jawa Tengah.

“Kami mencari korelasi yang kuat antara kandungan air liur dan tingkat kecerewetan, baik itu secara positif (berbanding lurus) maupun negatif (saling berkebalikan),” ungkap Adnan Hasyim Wibowo, salah satu siswa yang menghasilkan paper berjudul Korelasi Antara Kandungan Air Liur terhadap Tingkat Kecerewetan Siswa di SMA Unggulan CT Arsa Foundation Sukoharjo.

Adnan bersama rekannya, Tri Ardian Rinalda, menguji penelitian mereka selama sebulan. Mereka melibatkan 10 sampel. Terdiri atas 5 sampel siswa putra dan 5 sampel siswa putri yang dipilih secara acak dari 335 siswa dari populasi di SMA mereka. Metode yang mereka gunakan ialah metode campuran sekuensial eksplanatori.

Tahap pertama, mereka mengum­pulkan data kuantitatif, lalu meng­analisisnya dengan metode kualitatif. “Metode pertama yang kami gunakan ialah survei untuk menentukan tingkat kecerewetan dari siswa yang air liurnya kami gunakan sebagai sampel. Lalu, setelah itu kami kelompokkan berdasarkan tingkat kecerewetannya. Setelah itu, dilakukan uji kandungan air liur dan kami analisis perbedaan antara kandungan air liur siswa yang terindikasi cerewet dan yang tidak cerewet. Kemudian kami tarik kesimpulan dari analisis tersebut,” jelas Adnan.

Judul lucu, eksekusi serius!

Munculnya judul-judul penelitian yang mungkin saja terdengar main-main dan nyeleneh ini bukan berarti tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah lo! Para siswa itu tengah mengikuti kompetisi Indonesia Fun Science Award 2.0 yang diprakarsai Fakultas Life Sciences & Technology SGU. Menurut Chairman IFSA 2.0, Hery Sutanto, kompetisi ini merupakan wadah tepat untuk siswa SMA. Sebab, menurutnya, usia SMA belum saatnya meneliti isu berat dan serius. Karena itu, IFSA dihadirkan sebagai jembatan bagi siwa yang berminat pada penelitian ilmiah.

“Kami rasa umur SMA dimulai dari belajar meneliti sesuatu yang menggelitik kepala mereka masing-masing. Menggunakan topik yang ‘question mark’ dari anak-anak. Poin besarnya, walau judulnya lucu, eksekusi harus serius,” papar Hery via telepon, Rabu (15/4).

Dengan begitu, meski terdengar jenaka dari judul-judul penelitian, metode ilmiah tetap harus ditegakkan dan menjadi faktor penilaian di IFSA. Hery mengatakan fenomena juga harus dibahas secara saintifik. Sampel yang diambil juga harus mewakili keseluruhan penelitian yang dilakukan siswa.

IFSA tercetus dari kompetisi serupa di tingkat global, Ig Nobel Prize, yang diadakan majalah Annals of Improbable Research. Pada 2019, helatan itu sudah memasuki usia ke-29. Di 2019, dilaporkan CNN, Shigeru Watanabe dari Jepang menerima penghargaan Ig Nobel dalam bidang kimia untuk memperkirakan total volume air liur yang dihasilkan per hari oleh seorang anak berusia lima tahun.

Pada musim pertama IFSA, pemenang mendapat edutrip ke Jerman dan beasiswa pendidikan SGU.
Namun, lantaran pandemi covid-19 kini tengah berlangsung, pemenang kali ini batal mendapat hadiah edutrip. Gantinya, mereka berhak mendapat hadiah dengan besaran setara akomodasi edutrip ke Jerman. Setiap pemenang mendapatkan Macbook Pro senilai Rp21 juta. Final dilaksanakan pada Selasa (21/4), disiarkan di kanal Youtube Swiss German University.

“Kami ingin memberi motivasi bahwa banyak ide lucu yang hanya muncul saat ngobrol. Itu bisa diteliti. Tidak selamanya sains mengerikan, menyebalkan, tetapi bisa juga lucu,” pesan Hery. (M-2)

Sumber Pemberitaan

Leave a Reply